Air Mata Ega



Cerpen: Fajri Andika*
(Cerpen ini telah dimuat di Radar Surabaya pada tanggal 22 November 2015)

“Hentikan tangisanmu itu, Ega. Air mata tidak akan menyelesaikan masalah,” seru Are seraya mengusap air bening yang mulai menggenangi pipi Ega. Malam semakin larut. Sementara Are masih saja setia meminjamkan bahunya untuk Ega. Padahal, lelaki berkulit sawo matang itu sedang kecapaian setelah seharian sibuk ngetik naskah. Namun, demi Ega, ia abaikan segala lelahnya itu.

Seraya mengelus-elus rambut Ega yang lurus panjang bergelombang, Are hendak berkata, “Ingin kubunuh waktu malam ini agar kebersamaan kita abadi.” Namun, bibirnya tidak bisa mengucapkan kata-kata itu.

“Malam makin dingin. Pakailah jaket ini, Ega.” Dan, akhirnya, hanya kata-kata ini yang ia ucapkan.

Are, lelaki pencinta fiksi itu sudah lama memendam rasa kagum pada Ega. Tidak sedikit cerpen-cerpennya terinspirasi dari perempuan itu. Namun, tak ada yang tahu bahwa puisi maupun cerpennya yang sering nampang di surat kabar itu hampir semuanya dipersembahkan untuk Ega. Sebab, ia menaruh nama Lusia, bukan Ega di setiap karya-karyanya.

Lusia itu perempuan imajinerku, begitu Are menjawab setiap kali teman-teman komunitasnya bertanya perihal tokoh bernama Lusia yang selalu menghiasi cerpen-cerpennya. Ia sengaja menaruh nama Lusia agar para pembaca, terutama teman-teman sastranya tidak tahu bahwa ia menyimpan rasa untuk perempuan itu.

Are memang sudah lama menyimpan rasa kagum pada Ega. Menurutnya, hanya lelaki yang memiliki mata dan perasaan tidak normal jika tidak mengagumi perempuan itu.

Apa yang dikatakan Are itu tidak berlebihan. Mengingat Ega memang penuh dengan keindahan. Wajahnya begitu sendu dan syahdu, membuat setiap lelaki yang memandangnya merasa teduh. Tubuhnya tinggi semampai. Tutur katanya begitu halus dan lembut. Ketika ia bicara, daun-daun seakan ingin lepas dari reranting. Apalagi ketika ia tersenyum, bumi seperti berhenti berputar.

Semua keindahan yang dianugerahkan Tuhan kepada Ega itu digambarkan Are secara puitis dalam cerpennya yang dimuat di salah satu surat kabar nasional beberapa minggu yang lalu. Namun, sebenarnya bukan keindahan fisik yang Are kagumi dari Ega. Sifat, tingkah laku, dan perjuangan hidupnyalah yang membuat Are takluk padanya.

Ya, Ega memang sangat beda dengan teman-teman kampusnya, yang hari-harinya hanya dihabiskan untuk hal-hal yang tidak penting. Jika teman-teman kontrakannya sibuk bermain gadget, Ega sibuk membuka lembar demi lembar buku-buku koleksinya. Dan jika kawan-kawan kelasnya sibuk menghambur-hamburkan uang kiriman orangtuanya untuk shoping di beberapa mall ternama, Ega sibuk mencari nafkah untuk membiayai hidupnya dan dikirimkan ke orangtuanya.

Ega membiayai hidupnya dengan menulis dan menari. Jangan heran jika ia mampu membiayai hidupnya dengan hanya mengandalkan reward dari tulisan-tulisannya yang dimuat dan honor menarinya. Sebab, ia begitu pandai dalam dua bidang itu.

Dalam dunia tulis-menulis, setiap minggu, karya-karyanya baik puisi, cerpen, maupun artikelnya selalu menghiasi media massa. Dari tulisan-tulisannya yang dimuat itu, kalau dihitung, dalam waktu sebulan, ia bisa mendapatkan honor tujuh ratus hingga sembilan ratus ribu rupiah. Bahkan, kalau sedang mujur, saldo di ATM-nya bisa mencapai satu juta rupiah.

Begitu pula dalam dunia tari-tarian. Ia sangat pandai menari. Setiap kali ia tampil menari, di mana pun itu, tariannya menyihir ratusan pasang mata penonton. Karena kepandaian dan kelihaiannya dalam menari itu, ia sering terpilih untuk mewakili kampusnya dan Daerah Istimewa Yogyakarta di beberapa kontes tari nasional. Bahkan, ia pernah diundang oleh Kedubes RI untuk Italia dalam rangka memperkenalkan dan mempopulerkan tari tradisional Indonesia di negara yang terkenal dengan sepak bolanya itu.

Itulah Ega, yang kecantikan dan keseksian pribadinya mampu membuat hati dan perasaan Are bergetar. Ega-lah perempuan pertama, pasca ia gagal menikah dengan tunangannya beberapa tahun silam, yang membuatnya mabuk kepayang.

Selama ini memang tidak sedikit perempuan yang memiliki keindahan seperti Ega yang dekat dengan Are. Namun, perempuan-perempuan yang dekat dan secara terang-terangan bilang suka dan kagum pada Are itu tidak mampu membuat hatinya bergolak. Bagi Are, cantik fisik saja tidak cukup jika pengetahuan dan kepribadiannya tidak seksi. Dan semua itu Are temukan dalam diri Ega.

Are kenal dengan Ega saat acara Festival Sastra dan Budaya di kampus UIN Sunan Kalijaga. Waktu itu, Ega tampil sebagai salah satu peserta lomba tari, di mana kelompok tarinya keluar sebagai juara. Saat itu, tarian Ega tidak hanya mampu menyihir para juri dan ratusan pasang mata penonton, tapi juga mencuri perhatian Are. Tanpa sadar, Are mengucapkan kalimat yang diucapkan oleh seorang aktor dalam salah satu film yang pernah ditontonnya: kutemukan Tuhan dalam dirinya. Ia lupa nama aktor dan judul filmnya. Yang tak ia lupa ialah ketika untuk pertama kalinya tangan kasarnya bersentuhan dengan tangan Ega yang halus. Adegan yang bagi Are sangat romantis itu terjadi kira-kira setengah jam setelah acara tahunan itu selesai.

Sejak saat itu, hubungan mereka makin dekat. Tidak jarang Are mengajak Ega ke warung kopi untuk diskusi seputar dunia tulis-menulis atau sekadar menikmati kopi. Ega juga kerap mengajak Are ke Taman Budaya setiap kali ia mau tampil menari.

Meskipun mereka sering ngopi bareng dan pergi ke acara-acara kesenian dan diskusi sastra berdua, namun mereka tetap menjaga jarak. Sebab, Ega sudah ada yang punya. “Lalu, kenapa pacar Ega tidak pernah menemani setiap kali perempuan itu tampil?” tanya salah satu teman Are.

“Setahuku, pacarnya itu tidak suka tari tradisional. Ia lebih suka tari modern. Menurut lelaki bernama Sonar itu, tari tradisional itu kuno dan ketinggalan zaman. Makanya dia jarang, bahkan bisa dibilang tidak pernah menemani Ega setiap kali perempuan itu tampil,” jelas Are.

Ahmad Sonar – lebih akrab dipanggil Sonar – seorang mahasiswa yang sangat mencintai dunia pergerakan. Namun, kalau dari segi penampilan, ia sangat beda dengan para aktivis yang lain, yang tampil apa adanya.

“Aktivis itu juga harus memerhatikan penampilan, biar tidak kelihatan garang dan menakutkan. Mungkin saja ketika kita aksi, ada salah satu Polwan yang tertarik pada kita,” kelakar Sonar pada salah satu teman aktivisnya.

Sonar memang sangat memerhatikan penampilan. Bahkan, ia tidak mau ketinggalan soal fashion. Maklumlah jika Sonar sangat mencintai dunia pergerakan tapi tidak mau ketinggalan dalam urusan penampilan. Ia berasal dari keluarga kaya raya. Ayahnya merupakan aktivis 1998, yang tahun lalu namanya masuk dalam jajaran 10 besar pengusaha sukses Indonesia. Sedangkan ibunya adalah salah satu pemilik butik ternama di Jakarta, yang pada masa mudanya merupakan aktivis gender.

“Sonar selalu bilang bahwa ia suka keindahan. Tapi kenapa ia tidak pernah menyukai tarian tradisionalku yang indah, dan justru lebih tertarik pada tarian modern perempuan itu?” kata Ega. “Ini tidak masuk akal. Benar-benar tidak masuk akal. Hanya karena masalah tari yang tidak ia sukai, ia memutuskan untuk pergi.” Ia tertunduk lesu dengan ekspresi wajah putus asa.

Melihat Ega makin gelisah, Are tambah bingung dan tak tahu bagaimana caranya menenangkan perempuan yang hatinya baru patah itu. Di satu sisi ia bahagia melihat hubungan Ega dengan kekasihnya buyar, tapi di sisi yang lain ia tidak tega melihat perempuan itu menangis semalaman. Baru kali ini ia melihat Ega sesedih itu.

”Kenapa kamu masih mau mempertahankan hubunganmu dengan Sonar? Apakah dulu kamu menerimanya karena dia berduit, sehingga kamu jadi stres seperti ini?” berkata Are dalam hatinya saat air hangat yang menitik dari sepasang mata Ega semakin menggenangi baju di bagian bahunya.

Namun, pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam benak Are itu seketika buyar ketika Ega, dengan suara parau berkata, “Kenapa tiba-tiba dia pergi meninggalkanku dan lebih memilih perempuan yang selalu tampil modis itu? Kurang apa aku selama ini sama dia?” ia berhenti sejenak, mengusap air mata yang makin membanjiri wajahnya, kemudian melanjutkan, “Aku tidak mengerti kenapa dia berubah. Padahal, dulu dia tidak seperti itu. Aku mencintai dan menerimanya bukan karena kekayaannya. Bahkan, aku tahu kalau dia berasal dari keluarga kalangan atas ketika hubungan kami sudah berjalan satu tahun. Itu pun aku tahu dari temanku. Aku dulu menerimanya sebagai pacarku karena aku mengaguminya. Dia mahasiswa yang amat peka terhadap persoalan-persoalan kampus. Bahkan, dulu dia pernah menginap di kantor Polisi karena berorasi di depan Rektorat. Aku ingat betul, dulu dia nekat aksi sendirian di depan kantor Bapak Rektor itu untuk memprotes para birokrat kampus yang menaikkan SPP. Tapi, yang paling aku makin tak punya alasan lagi untuk tidak menerimanya ialah ketika ia bilang bahwa ia mencintai dunia seni dan sangat kagum dan suka pada perempuan yang menggeluti tari tradisional. Sebab, katanya, anak-anak muda sekarang, khususnya kaum hawa, lebih menyukai tari modern daripada tari tradisional. Tapi, ternyata, semua yang diucapkannya itu hanya dijadikan umpan agar hatiku luluh. Ia sama sekali tidak menyukai tari tradisional. Dan…..”

Belum selesai Ega bicara, keburu dipotong Are, “Ssstt…., kau terlalu banyak bicara.” Ia berhenti sejenak, mengambil nafas dalam-dalam, kemudian melanjutkan, “Kau terlalu banyak membuang air mata. Perlu kamu tahu, Ega, kepergian dan kehadiran bermula dari cinta.”


Cerita buat Lusia Ega Andriana

Yogyakarta, 2015


Comments
0 Comments