Oleh: Imam Nawawi
(Tulisan ini juara 1 dalam lomba artikel tingkat nasional dalam rangka harlah PMII 2015)
Polemik tentang kembalinya Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia ke NU terus bergejolak. Satu pihak berpandangan, PMII tidak musti
kembali ke NU sebab hal itu bukanlah sesuatu yang substansial karena hanya persoalan
struktural saja. Persoalan struktural tidak perlu menjadi masalah. Bahkan jika PMII
kembali ke struktural NU, hal itu merupakan suatu kemunduran. Terbukti, dalam kaderisasi
PMII lebih maju dibanding badan otonom NU yang ada seperti IPNU atau IPPNU.
Di lain pihak ada juga yang mengatakan bahwa PMII harus
‘pulang’ ke NU. Secara historis dan kultural PMII dan NU memiliki keterkaitan
yang sangat erat sehingga seolah-olah keduanya adalah satu; PMII ya NU, dan NU
ya PMII. PMII lahir dari rahim NU, maka mau tidak mau PMII harus pulang ke induknya[1]. Bahkan
di pihak ini sempat muncul selentingan, jika PMII tidak mau kembali ia adalah
anak durhaka atau kader murtad.
Sungguh, polemik tersebut berlangsung sejak awal
ditetapkannya hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama’
(Munas-Konbes NU) ke-32 hingga sekarang. Munas-Konbes NU tersebut berisi ultimatum
kepada PMII untuk segera kembali pada NU. Selain itu, Munas-Konbes NU yang
berlangsung di Makassar tersebut juga memberikan masa tenggang kepada PMII
sampai pelaksanaan muktamar ke-33 di Jombang besok untuk menentukan sikap. Jika
PMII tetap tidak mau kembali maka NU akan mendirikan badan otonom baru di
tingkat mahasiswa.[2]
Masa tenggang tersebut tidak lain dikeluarkan sebagai puncak
ketidak-puasan NU atas sikap interdependensi PMII sekaligus sebagai sebuah ‘ancaman’. Kemungkinan besar adanya ultimatum
seperti itu lantaran dari dulu PMII tidak pernah menanggapi secara ‘serius’
seruan NU. Maka dari itu PMII harus diberi ‘ancaman’ agar mau untuk pulang. ‘Ancaman’
tersebut mungkin bertujuan agar PMII berpikir ulang tentang sikapnya itu.
Tentu, NU mengeluarkan ultimatum itu bukan tidak beralasan.
Setidaknya ada beberapa alasan NU mengeluarkan keputusan tersebut. Pertama,
adanya keterputusan jenjang kaderisasi di tingkatan mahasiswa. Selama ini
jenjang kaderisasi Banom NU hanya sampai di tingkatan pelajar, sedangkan di tingkatan
mahasiswa tidak ada. Sejak Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia memutuskan diri
untuk pisah dan independen dari NU—yang saat itu masih sebagai partai politik,
NU tidak lagi memiliki badan otonom khusus untuk membidani kaderisasi dan
penyiapan sumber daya manusia di perguruan tinggi.[3]
Kedua, sebagian besar ulama’ NU
menilai arus pemikiran dan gerakan PMII terlalu ‘liar’ dan liberal. Sehingga
nilai ke-aswaja-annya nyaris hilang. Entah hilang dengan sendirinya atau
memang sengaja dihilangkan, lalu ditafsirkan berbeda. Independensi PMII yang
telah melalui perjalanan panjang ini meniscayakan adanya liberasi gerakan,
yaitu sebuah usaha pelepasan dari berbagai belenggu yang mengikatnya dan pada
saat yang sama merupakan bentuk perlawanan terhadap otoritas tertentu.
Tidak dapat
dipungkiri, PMII secara kultural dan historis terus memiliki ikatan dengan NU. Oleh karena itu, banyak kalangan yang meyakini bahwa untuk melihat
potret masa depan warga NU ikut dipengaruhi oleh bagaimana transformasi yang
mampu dicapai oleh para kader PMII dalam berbagai bidang kehidupan. Di sini
transformasi gerakan PMII harus terus dilakukan yang terwujud melalui kerja
keras dan elanvital yang kuat. Elanvital di sini mewujud dalam beragam ekspresi
pemikiran, pilihan gerakan politik hingga visi dan tradisi demokrasi yang ingin
diwujudkan.
PMII saat ini tidak sebagaimana PMII tempo dulu.
Inklusifitas yang dipegang seolah-olah menjadi suatu jebakan bagi PMII sendiri.
Inklusifitas yang dulu adalah cara berpikir luas, komprehensif, tidak
eksklusif, tidak memihak dan berorientasi pada kebenaran kini berubah menjadi
pemahaman liberal. Nilai keislaman dan ke-aswaja-annya terlalu longgar. PMII
cenderung menggunakan persepsi “kanan” dalam persoalan keagamaan, bukan lagi moderat.
Fenomena ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari fenomena intellectual
booming yang terjadi di lingkungan NU, utamanya di penghujung tahun 80-an.
Fenomena ini merupakan puncak dari proses liberasi dan radikalisme (baca:
berpikir mendalam) yang tidak jarang
memunculkan gagasan-gagasan yang cukup radikal dan kerap kali memancing
kemarahan sang kiai.[4]
Hal ini menjadi perhatian serius para ulama’ NU mengingat
bahwa kader PMII adalah kader NU juga dan semua yang dijalankan serta menjadi
tradisi PMII merupakan tradsisi NU juga. Akan tetapi selama PMII masih
independen para ulama’ tidak bisa apa-apa. Mereka hanya bisa memberikan
teguran-teguran “jarak jauh” yang bisa diindahkan bisa pula tidak. Jika PMII
bergabung lagi pada NU, NU bisa lebih leluasa memberikan nasehat-nasehat—tentu
yang tidak berlebihan. Artinya, NU mengajak PMII kembali padanya sebagai upaya
‘menyelamatkan’ PMII dari keterpurukan pemahaman ke-aswaja-annya.
Ketiga, alasan interdependensi
PMII sudah tidak relevan lagi. Setelah muktamar 1983 di Situbondo, Jawa Timur,
NU menyatakan diri lepas sebagai partai politik dan memutuskan kembali ke khittah
1926 sebagai organisasi sosial-keagamaan yang bertekad untuk mengembangkan
sumber daya manusia di bidang ekonomi, agama dan pendidikan. Mengingat sejarah
‘pecahnya’ PMII dan NU menjadi badan independen tersendiri adalah lantaran NU
sebagai partai politik maka saat ini alasan tersebut tidak lagi dibenarkan karena
kenyataannya NU bukan partai politik lagi.
Di era ini, interdependensi PMII secara struktural
memberikan kesan bahwa PMII sebagai anak yatim, tidak punya orang tua. PMII
untuk saat ini tidak memiliki induk siapa-siapa, sebab pasca Deklarasi
Murnajati[5]
secara resmi ia telah terputus dari induknya. Itu artinya PMII tidak memiliki
afiliasi organisasi yang jelas dan hal ini menunjukkan ketidak-jelasan
eksistensi di level yang paling inti. Bahkan terkesan seolah-olah organisasi
sebesar PMII itu tidak lagi memiliki arah perjuangan yang pasti.
Padahal, menurut penuturan Slamet E Yusuf bahwa
independensi PMII adalah hasil perenungan terhadap posisi dan eksistensi PMII
yang mengalami stagnasi, dan jika tidak diperbaharui akan membawanya pada
jurang yang penuh kegelapan, apalagi hanya menjadi alat politik. Karena partai
politik dan mahasiswa memiliki wilayah yang sangat berbeda sama sekali. Jika
partai politik bergulat pada kepentingan-kepentingan, maka mahasiswa
bagaimanapun juga bergulat pada proses peneguhan dan pencarian jati diri, pada
tingkat-tingkat yang objektif, ilmu pengetahuan, moralitas, intelektual dan
seterusnya.[6]
Ini menandakan bahwa kalau NU telah bukan partai politik dan bisa memperluas
pandangan objektif PMII, maka sewajarnya PMII kembali ke NU.
PMII sebagai harakah NU
Pada tahun 1991 PMII hanya menyatakan sikap interdependensi
dengan NU. Artinya, PMII mengakui adanya persamaan-persaman dengan NU. Di
antara isi deklarasi interdependensi tersebut berbunyi:
PMII dan NU
memiliki persamaan-persamaan dalam persepsi keagamaan dan perjuangan, visi
sosial dan kemasyarakatan, keraguan, ketidak menentuan serta kesaling-curigaan;
sebaliknya untuk menjalin kerjasama program secara kualitatif fungsional baik
secara program nyata maupun penyiapan sumber daya manusia, PMII menyatakan siap
untuk meningkatkan kualitas hubungannya dengan NU atas prinsip berkedaulatan
organisasi penuh, interdependensi, dan tidak intervensi struktural dan
kelembagaan, serta prinsip mengembangkan masa depan Islam Ahlusunnah wal
Jama’ah Indonesia. (ditetapkan di Pondok Gede, Jakarta pada 29 Oktober 1991)
Ini menunjukkan bahwa sebenarnya antara PMII dan NU sudah
mulai “baikan” dan tidak ada masalah apa-apa. Hal itu terbukti pada isi
Deklarasi Interdependesi PMII pada 1991
di atas. Sejauh perjalanan interdependensi PMII, ia tetaplah sebagai
gerakan nahdliyin. Sebagimana diakui sendiri dalam deklarasi
interdependensi di atas bahwa PMII memiliki kesamaan tradisi, visi-misi,
gerakan sosial dan ideologi ahlus sunnah wal jama’ah. Maka akan lebih
baik jika PMII dan NU kembali bersatu dalam satu ikatan.
Secara ideologis PMII adalah kader ideologi NU. Artinya,
apa yang diajarkan di PMII adalah apa yang ada di NU. Maka sebenarnya,
eksistensi PMII merupakan perwujudan konkret dari harakah an-nahdliyah.
Di sini jelas bahwa PMII adalah bagian integral dari NU.
Sejarah pecahnya PMII dari NU dan menjadi independen, bukan karena PMII tidak
mau pada NU, tetapi lantaran hal tersebut memang harus dilakukan sebagai suatu cara “menyelamatkan diri” dari Orde
Baru. Maka dari itu, karena kondisinya sudah berbeda dengan Orde Baru, semua
akses sudah terbuka, proses demokrasi menjadi prioritas dalam berbangsa dan
bernegara, maka sekali lagi, tidak ada salahnya jika PMII kembali pada NU
sebagai suatu pengakuan dan upaya memperjelas eksistensinya sebagai organisasi
kader ideologis NU. diharapkan dengan begitu PMII dan NU akan memiliki
kontribusi besar dalam membangun masa depan bangsa Indonesia.
Oleh sebab itu, sangat disayangkan sikap sebagian kader
PMII yang menganggap ultimatum Munas-Konbes NU ke-32 sebagai suatu usaha
memundurkan gerakan PMII. Padahal jika ditelaah menggunakan pikiran jernih,
justru dengan bergabungnya PMII menjadi badan otonom NU, PMII akan memiliki status
perhubungan yang jelas. Sebaliknya, jika PMII tidak mau kembali hal itu
merupakan jalan terjal bagi PMII sendiri.[7]
Patut diakui bahwa bagaimana pun kebutuhan NU kepada badan
otonom di tingkat perguruan tinggi tidak bisa ditawar lagi. NU membutuhkan
badan otonom yang jelas, yang terikat secara struktural maupun kultural.
Kebutuhan itulah yang menjadi alasan PBNU untukmembentuk badan otonom baru di
tingkat mahasiswa jika PMII masih juga tidak mau ‘pulang’.[8] Tentu,
hal tersebut merupakan ancaman serius bagi PMII.
Artinya, jika NU benar-benar membentuk Badan Otonom (Banom)
baru. Tentu akan menimbulkan konflik dan perpecahan antar kader NU. Dan
perjuangan PMII akan berdarah-darah merebut posisi dan kader di kampus-kampus.
Perebutan antar sesama organisasi kultural ‘berdarah’ NU tidak akan bisa
dihindarkan. Perebutan yang sebenarnya sia-sia dantidak perlu dilakukan, tetapi
demi mempertahankan eksistensi mau tidak mau hal tersebut harus dilaksanakan.
Di sini pandangan masyarakat NU akan terpecah dalam
berbagai spekulasi. Akan ada ‘ide’ untuk membanding-bandingkan. Perbandingan pertama
yang akan dipakai pasti jalur struktural, hierarki ideologis dan kultural. PMII
tidak memiliki hierarki struktural, maka ia akan dianggap tidak jelas arahnya.
Ke mana PMII berkiblat orang-orang tidak akan peduli. Meskipun internal PMII
tetap mengakui NU sebagai akar ideologinya. Orang-orang hanya akan memandang
bahwa PMII tidak memiliki ‘orang tua’ karena orang tua kandungnya telah
memungut ‘anak baru’.
Keraguan PMII
Akan tetapi, sejauh pengamatan penulis PMII sebenarnya
bukan tidak mau kembali kepada NU. Hanya saja ada keraguan dan ketakutan kalau
nantinya PMII kembali, sejarah pahit yang dulu dialami akan terjadi lagi. Ada
trauma masa lalu yang membuat PMII takut. Takut kebebasan berpikir, berekspresi, bergerak, dan kaderisasinya akan dihambat dan dibatasi
secara berlebihan oleh NU. Itu artinya
‘luka-luka’ politik PMII di masa lalu nampaknya belum bisa sembuh secara
sempurna.
Wajar sikap tersebut muncul. Kecurigaan yang timbul atas trauma
masa lalu merupakan niscaya adanya. Trauma masa lalu itu kemudian mewujud
sebagai sebuah kekhawatiran. Kekhawatiran terhadap sikap “tak bersahabat”, jika
PMII kembali menjadi badan otonom NU. kekhawatiran tersebut bisa kita tebak
menggunakan nalar rasional kita bahwa ketika PMII masuk dalam struktural
sebagai badan otonom NU, mau tidak mau PMII harus melaksanakan apa yang telah
NU putuskan, toh, walaupun semisal bertentangan dengan ideologi
mahasiswa sebagai kaum intektual dan cendekia. Itu artinya PMII harus manut
atau senantiasa patuh kepada NU sebagai ‘atasannya’ meskipun hal itu tidak
diinginkannya. Tentu idealisme, kekuatan intelektual, kebebasan sikap dan
ketidak-berpihakan PMII kepada siapa pun bisa terancam.
Karena bagaimana pun ketika telah terikat secara
struktural, maka secara etika, PMII memiliki ‘tanggungan’ moral untuk berpihak
pada NU. Contoh sederhana, jika NU pro pada keputusan pemerintah menaikkan
harga BBM, maka secara etika, PMII—sebagai badan otonom NU—pun harus pro kepada
keputusan itu, atau toh semisal tidak setuju, asumsi publik tetap akan
mengatakan bahwa PMII ikut setuju kepada induknya.
Hal itu mengingat bahwa di sisi lain NU meskipun telah
bukan partai politik tetapi tidak dipungkiri bahwa oknum-oknum di dalamnya
adalah pelaku politik. NU belum sepenuhnya terbebas dari dunia politik praktis.
Itu artinya, bahwa pengembalian NU ke khittah 1926, hanya berhasil untuk
mengembalikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan secara konsepsional namun
gagal secara operasional.[9]
Selain itu, latar belakang kekhawatiran tersebut juga
muncul lantara NU belum selesai dengan ‘dirinya sendiri’. Banyak Badan Otonom
(Banom) NU yang belum diurusi dengan jelas. Katakanlah semisal konflik GP Ansor
dengan Banser, ketidak-jelasan kaderisasi IPNU-IPPNU dan sebagainya. Itu artinya kesiapan NU untuk menampung dan
mengurusi mahasiswa—yang terwadah dalam PMII—masih dipertanyakan.
Penutup
Maka di sini ada beberapa masalah yang harus diselesaikan.
Di satu pihak NU membutuhkan PMII sebagai badan otonomnya. Di pihak lain, PMII
menyimpan kecurigaan besar dan
“ketakutan” kepada NU. Oleh karena itu, dua kepentingan ini harus dipertemukan.
Dan—mungkin –atas dasar itulah PBNU memutuskan untuk mengadakan pertemuan tiga pihak, yakni IKA-PMII, PB PMII
danTim Kaderisasi PBNU guna membahas persiapan lebih lanjut mengenai kembalinya
PMII. Hal itu, untuk sementara waktu merupakan langkah solutif yang diharapkan bisa memediasi masing-masing
‘kepentingan’ di antara dua pihak.[10]
Di pertemuan ini, PMII bisa mengajukan
persyaratan-persyaratan atau mengajukan sebuah perjanjian, misal; 1)
NU tidak boleh terlalu memonopoli PMII meskipun ia sebagai badan otonomnya. 2)
Nalar berpikir PMII tidak boleh diarahkan ke nalar politik. Artinya, NU harus
bisa menerima nalar progresifitas pergerakan sebagai suatu keniscayaan dalam gerakan mahasiswa. 3) NU
tidak banyak intervensi pada PMII, lebih-lebih dalam perkara politis. 4) NU
tidak boleh menghambat gerakan yang menjadi cita-cita dasar PMII. 5) PMII bisa
kembali independen jika terbukti NU tidak mampu membawa PMII ke arah yang lebih
baik.
Perjanjian tersebut penting agar PMII bisa membangun suatu
era di mana kecirian pergerakan yang pro-demokrasi dan identitas kejernihan
intelektual yang menjunjung tinggi kebebasan.Arah dan wajah bangsa di masa
depan ditentukan oleh seberapa ‘cerdas’ generasi mudanya. Maka dari itu, jika
gerakan mahasiswa dibatasi, maka kreatifitas akan mati sebab gerakan mahasiwa membutuhkan ladangnya sendiri.
Sebenarnya apa yang ingin penulis sampaikan adalah
bagaimana antara pihak pro dan pihak kontra PMII kembali ke NU tidak saling
bersikukuh mempertahankan pendapat masing-masing. Artinya bahwa PMII kembali ke
NU adalah penting. Namun, NU berbenah diri jauh lebih penting.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin,Zainul,
dkk. 2009. KH. Moh. Tolchah Mansoer Biografi Profesor NU yang Terlupakan,
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren)
Taufiq,
Wardi. 2004. Bergerak dengan Nalar Baru, Meraih Citra Baru Keislaman dan
Keindonesiaan, (Jakarta: P3M)
Tim
Penyusun. 2014. Modul PKD Rayon Ashram Bangsa Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga, (tt).
Anshori,
Syaiful Bahri, dkk. 2000. Fiqh Kewarganegaraan; Intervensi Agama-Negara
terhadap Masyarakat Sipil, (Jakarta: PB PMII)
NU
Online, Muktamar 2015, Tenggang Waktu PMII “Pulang” ke NU. Edisi Sabtu
01/11/2014
NU
Online, IKA-PMII Setuju PMII Kembali Menjadi Badan Otonom NU, edisi
Kamis 19/03/2015
[1] PMII dilahirkan pada tanggal 17 April 1960 di Sekolah Mu’alimat NU
Wonokromo, Surabaya dalam situasi politik zamannya. Organisasi tersebut
terbentuk berkat desakan kuat beberapa mahasiswa NU untuk membentuk sayap
organisasi kemahasiswaan yang bergerak di bidang kaderisasi, menjunjung tinggi
intelektualitas dan kualitas kepemimpinan kaum muda. Maka atas dasar itu, PMII
lahir dari departemen perguruan tinggi IPNU sebagai kelanjutan kaderisasi di
tingkat mahasiswa.
Lahirnya PMII memiliki hierarki sejarah yang cukup panjang. Berawal
dari kegelisahan kader NU di tingkat mahasiswa sampai pada berdirinya
departemen perguruan tinggi IPNU yang kemudian mengadakan forum untuk
menindaklanjuti usulan pembentukan organisasi baru di tingkat mahasiswa. Forum
tersebut berlangsung pada 17 April 1960 atau bertepatan dengan 21 Syawal 1379 H
yang menghasilkan beberapa keputusan. Pertama, menyepakati berdirinya
organisasi mahasiswa NU dengan nama “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”,
disingkat PMII. Kedua, susunan peraturan dasar organisasi dalam
mukaddimahnya jelas dinyatakan bahwa “PMII merupakan kelanjutan/mata rantai
dari Departemen Perguruan Tinggi IPNU”. Ketiga, menetapkan 17 April
sebagai hari lahir PMII. Pada hari itu juga Peraturan Dasar PMII resmi
diberlakukan. Keempat, memutuskan pembentukan tiga formatur, Mahbub
Djunaedi sebagai Ketua Umum, A. Chali Mawardi sebagai Ketua Satu dan M. Said
Budairi sebagai Sekretaris Umum PP PMII periode pertama. Zainul Arifin, dkk, KH.
Moh. Tolchah Mansoer Biografi Profesor NU yang Terlupakan,2009,
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren), hal,
83-84.
[2] Hal ini dikemukakan oleh Imam Aziz selaku Ketua Umum PBNU yang baru.
Lihat, NU Online, Muktamar 2015, Tenggang Waktu PMII “Pulang” ke NU.
Edisi Sabtu 01/11/2014
[3] Secara historis, lepasnya PMII dari NU
didasari oleh karena NU adalah partai politik. Saat itu, di mana pemerintahan
Orde Baru berkuasa, suasana politik begitu mencekam. Pada tahun pemilu
tahun 1971 Partai NU menjadi kekuatan
utama. Kalau pemilu 1955, Partai NU memperolah suara 18,3% sementara pada tahun 1971 menjadi 18,8%. Ini
berarti perolehan suara NU pada pemilu 1971 mengalami kenaikan meskipun
mendapat intimidasi yang kaut dari militer. Golkar (waktu itu namanya Sekber
Golkar) sebagai pemenang sekaligus menjadi maenstreamyang sedang tumbuh
di mana proses birokratisasi dan militerisasi politik itu sedang terjadi.
Posisi Partai NU saat itu sebagai kelompok politik yang paling berlawanan
dengan Golkar. Dengan
demikian, mau tidak mau Partai NU dan seluruh jajarannya memperoleh proses
peminggiran yang luar biasa. PMII adalah bagian dari itu, sehingga harus juga
dipinggirkan, maka rektor-rektor IAIN yang berlatar belakang NU diganti,
pejabat-pejabat di departemen agama yang alumni PMII dihabiskan dan lebih
celaka lagi, lembaga kultural yang menjadi binaan NU seperti pesantren—basis
terakhir yang menjadi pertahanan NU—dikucilkan. Lihat: Wardi Taufiq, Bergerak dengan Nalar Baru,
Meraih Citra Baru Keislaman dan Keindonesiaan, 2008 (Jakarta: P3M), hal,
4-5
[4] Wardi Taufiq, Op. Cit,hal, 15
[5] Melihat realitas sosio-politik yang penuh stagnasi itu, membangkitkan
kader PMII untuk melihat kembali eksistensinya. Kader PMII di semua tingkat
melakukan perenungan mendalam terhadap posisinya yang sungguh tidak
menguntungkan. Dari perenungan itu lahirlah keputusan untuk melepaskan diri
dari Partai NU. Artinya, PMII memutuskan untuk independen dari NU. Keputusan
independensi tersebut terjadi di Murnajati, Lawang, Malang, Jawa Timur yang
kemudian disebut “Deklarasi Murnajati”. Deklarasi Murnajati pada 1972
tersebut memberikan keputusan telak kepada NU untuk tidak ikut campur lagi
dalam urusan keorganisasian PMII. Deklarasi Murnajati menandakan bahwa sejak
saat itu PMII telah memilih ruang gerak sendiri. Pernyataan independensi ini
merupakan babak awal untuk merumuskan PMII sebagai organisasi kader
intelektual, sebagaimana disandang oleh mahasiswa, bukan lagi sebagai
organisasi kader partai. Ibid,
hal, 9
[6] Wardi Taufiq, Loc.Cit.
[7] Sejauh perjalanannya, PMII telah melewati tiga fase besar yang hal itu
berpengaruh pada konstruksi cara berpikir. Pertama, antara 1960-1970,
yaitu di saat PMII mulai didirikan dan harus menjawab tantangan zaman: menjadi
organisasi kader bagi Partai NU; dan perkembangan revolusi zaman. Sebagai
organisasi kader, ketika itu PMII dituntut untuk melakukan pendukungan penuh
terhadap apa yang diperjuangkan Partai NU. Kedua, periode pencarian
identitas diri (1972-1990) setelah menyatakan independen dari Partai NU. Ketiga,
periode memantapkan identitas politik (1991-2000), yaitu pengembangan
wacana-wacana kritis dengan lebih banyak menghidupkan kelompok-kelompok
diskusi, pendidikan masyarakat dan dibarengi aksi di jalanan. Lihat: Syaiful
Bahri Anshori, dkk, Fiqh Kewarganegaraan; Intervensi Agama-Negara terhadap
Masyarakat Sipil, 2000, (Jakarta: PB PMII) hal, 148
[8] Hal ini dikemukakan oleh Imam Aziz selaku Ketua Umum PBNU yang baru.
Lihat, NU Online, Muktamar 2015, Tenggang Waktu PMII “Pulang” ke NU.
Edisi Sabtu 01/11/2014
[9] Secara formal NU memang bukan organisasi politik berdasarkan muktamar
1983 di Situbondo dengan pernyataan kembali ke khittah 1926. Tetapi dalam
realitasnya semangat politik orang-orang NU masih kuat dan terkadang hal itu
melibatkan organisasi NU untuk terlibat. Maka jangan heran, di desa-desa maenstreamterhadap
kiai dengan partai politiknya masing-masing masih sangat kental hingga
sekarang. Bahkan maenstream tersebut seringkali mengakibatkan perpecahan di
internal NU sendiri. Lebih jelasnya lihat: Zainul Arifin, Op.Cit, hal,
115
[10] NU Online, IKA-PMII Setuju PMII Kembali Menjadi Badan Otonom NU,
edisi Kamis 19/03/2015