Dua Orang Tua di Malam Gelap


Cerpen: J. Rizal
(Cerpen ini telah dimuat di Koran Merapi pada hari Jum’at tanggal 13-01-2016)
 
Malam pertama.
Dua orang tua dengan sabar memikul setandan pisang dan sebundel jangung yang tampak berat sekali, sedangkan mulutnya masih sibuk mengunyah jambu merah sembari menyeret lengkahnya dengan tenang. Usianya yang renta tak membuat mereka berhenti terlihat bahagian, tapi tawa itu tak berlangsung lama ketika mereka tak segaja melihat pohon mati di bibir lorong, sembari bercakap kecil.
“Jika aku mati, lalu kau juga mati. Lantas siapa yang akan menangisi kematian kita?”
“Dunia masih menggelikan bagiku, dan tak sepatutnya memikirkan kematian”
“Tapi, bukankah setiap manusia berakhir dengan kematian?”
“Ya, memang akan selalu berakhir dengan kematian, karena kematianlah yang paling dekat dengan kehidupan! Tapi sudahlah, nikmati hidup ini, jangan keburu berfikir tentang kematian”
“Kita sudah tua, tentu sepatutnya memikirkan tentang kematian!”
“Kau pernah baca novelnya Sairter?”
“Tidak” ucapnya lirih setegah bergumam.
“Nah, aku ceritakan sedikit. Saiter mengatakan dalam novelnya yang berjudul “Pemadam Takdir” bahwa kematian punya cara sendiri untuk datang, dan kita tidak harus susah-susah memikirkan tentang kematian.”
Lelaki tua yang berada di posisi kanan sejenak terdiam, seperti mencerna kata-kata yang baru dia dapatkan dari temannya tentang kematian. Tapi sebelum kembali melangkah dua tua itu, tiba-tiba ada motor tua melaju dengan separuh kecepatan penuh, menuju ke arah mereka dan pengendara mitor, dengan paksa merampas barang bawaan si tua itu; setandan pisang juga sebundel jagung yang sedari tadi mereka pikul dengan cukup sabar. Segaja kuperhatikan wajah si pengendara motor, tapi tidak begitu jelas, namun yang pasti badannya tinggi gebmuk, rambut gondrong, celana agak komprang, jaket hitam dan sepatu getsal yang biasa dipakai para tentara Jerman. 
Sejenak terdiam, rasa heran mengalir dalam ingatan, kepalaku dipenuhi dengan tanda tanya. Sedangkan keningku terus mengkerut seperti seorang yang berusaha berfikir keras. Benar-benar ganjil! Gumamku dalam hati. Aku yang duduk di pinggir terotoar Taman Kemiskinan, hanya bisa menggeleng kepala dan mengangguk-gangguk; seharusnya kedua orang tua itu membela haknya! Setidaknya berteriak panik atau apa gitu, malah santai seolah-olah tak ada apa-apa. Aneh, benar-benar aneh. Atau jangan-jangan dua tua itu adalah jelmaan dari Malaikat pemberi rezki, seperti dalam novel Fansed Huuld yang berkisah tentang negeri yang miskin karena sudah disihir oleh Nyi Tombar yang datangnya dari lembah Kesucian di Gunung Siringai, dan pada suatu waktu, di mana mereka sudah dibebaskan dari kutukannya, mulailah Malaikan pemberi rezki menjelma sebagai seorang yang amat tua dan membawakan mereka beberapa karung gandum dan makanan pokok lainnya. Tapi, ah, itu hanya cerita, sedangkan kini aku benar-benar di dunia nyata. Aku harus cari tahu siapa sebenarnya dua orang tua itu.
Segaja aku melirik ke kiri ke kanan, orang-orang tampak sudah tak ada, penjual Angkringan juga lenyap, seperti sebuah dunia kosong, tak ada orang ataupun lalat sekalipun, tinggal lampu kota dan bayang-bayang setiap benda; mulai dari tiang, gedung, pepohonan dan lainnya yang tak bisa kusebutkan semuanya.
Malam masih remaja, setiap tempat sudah berusaha menjadi sepi. Aku terdiam sejenak dan menyeret langkah perlahan, pulang dengan mengusung rasa heran yang masih berapi-api. Tanpa aku tahu kenapa aku memikirkan semua itu. Setiap kaki melangkah, pada saat itu pula aku berfikir tentang kejadian yang begitu mengherankan. Aku terus mencari apa yang sebenarnya tak tahu apa yang sudah hilang. Ya, aku masih mencari apa yang tak berarti. Ah, aku benar-benar berantahkan malam ini, entah apakah karena kejadian aneh itu atau karena hal lainnya, aku juga tidak tahu.
  Malam kedua.
Sebelum duduk di tempat biasa, terlebih dahulu aku mengisi perutku yang sudah keroncongan dengan sebungkus nasih kucing di Angkringan di pinggir jalan yang beratapkan terpal. Suasana tampak romantis sekali dengan cahaya lampu kuning ke emasan, desiran angin perlahan di mukaku, menjalar dengan lembut sekali. Perlahan aku duduk, mengambil sebungkus nasi kucing yang sudah tertata rapi. Setelah berhasil kuletakkan pisau yang memang segaja aku bawa, dan mulai membuka nasi kucing yang terasa sudah dingin, menganbil satu gorengan dan memesan, “es teh satu pak” bapak pedagang angkringan itu mengangguk dan mulai memecahkan es  yang masih utuh. Setelah mengaduk teh dan memberikan bongkahan es yang sudah hancur, perlahan menjulurkan segelas es teh itu kepadaku. Namun bapak pedagang angkringan  tercengang melihat pisu yang tergeletak di bibir gerobaknya.
“Kalu boleh tahu, pisau itu untuk apa mas?” tanyanya ragu-ragu dengan nada lirih.
“O, ini. Ya, akhir-akhir ini saya memang sering bawa pisau dan tak tahu kenapa saya membawanya.” Jawabku berbohong.
Bapak pedagang angkringan masih menatapku curiga. Mungkin disangkanya aku adalah penjahat kelas coro, perampok tengek, atau begal jancuk. Akhir-akhir ini memang banyak begal yang memakan korban di pelosok atau pun di kota dengan menusukkan pisau pada mangsanya.
Mulutku masih mengunyah dengan cepat, kemudian menggigit gorengan yang mulai dingin, mengunyah kembali dengan perlahan. Ah, memang selalu nikmat, fikirku. Aku makan lahap sekali, sepertinya begitu teramat nikmat. Entah, apakah karena aku sangat lapar atau memang faktor lainnya; suasana, tempat, atau, ah, yang pasti aku nikmat sekali makan di angkringan malam-malam seperti ini. Mulutku masih mengunyah nasi dan secuil gorengan, tapi aku sudah mulai melihat lorong hitam memanjang itu, memastikan dua orang tua yang tadi malam masih belum benar-benar ada. Ah, malam masih bocah dan sepertinya tak mungkin dua tua itu sudah lewat di sana, di lorong hitam memanjang itu, fikirku. Lebih baik aku santai dulu duduk di sini, dengan penjual angkringan yang mulai sibuk sebab sudah banyak pembeli.
Tiba-tiba tanpa segaja aku melihat dua tua itu. Tanpa berfikir panjang, aku memerhatikan mereka dengan tajam, dan mereka tampak masih seperti kemaren malam. Tapi bedanya hanya barang bawaannya. Mereka tak lagi membawa setandan pisang dan sebundel jagung, tapi membawa ayam. Jelas kepala ayamnya sesekali keluar dari ayaman dau kelapa itu untuk menghirup udarasegar. Sedangkan yang di sebelah kiri juga membawa sebundel padi yang belum dipisahkan dari pohonnya, mereka menentengnya dengan begitu tenang.
Kuraba saku celana, meraih selembar uang sepuluh ribuan, membayarkannya pada penjual angkringan sebari berujar “kembaliannya buat bapak” bapak penjual angkringan itu mengangguk, tapi masih menatap curiga. Lekas kuraih pisau, menyelipkan di pinggang dan berjalan mendekat ke arah dua tua yang juga berjalan menuju bibir gelap. Dengan begitu hati-hati aku melangkah. Sampai akhirnya aku tak begitu jauh dari mereka. Aku menoleh ke beberapa tempat, belum ada tanda-tanda kedatangan motor tua yang tadi malam.
Dua tua itu masih bercakap-cakap seperti tadi malam. Namun aku tak peduli, aku lebih fokus memperhatikan di sekelilingku, mencari orang yang bermotor tadi malam. Perlahan ada motor tua muncul. Ah, bukan itu. Aku semakin siap siaga, pisau yang kubawa kucabut dari pinggang, membuka tutupnya perlahan, seketika pisau itu telanjang,  dan sudah di tangan siap untuk menembus dada. Aku masih berdiri, dan meletakkan pisau yang kugenggam di belakang tubuh, agar dua tua itu tak curiga dan juga tidak panik melihatku menggemgam pisau yang berkilau-kilau ketika di terpa cahaya lampu neon.
Kali ini motor yang tadi malam, hanya beda orang. Jika tadi malam gemuk, sekarang kurus, sepertu sudah bertahun-tahun tak pernah menyentuh kenyang, rambutnya pendek, celana panjang, kaos hitam sudah lusuh, sepertu siap untuk menjadi lap motor. Aku jadi kasihan melihatnya, ragu untuk melakukan apa yang sudah aku rencanakan dengan matang; membunuh orang yang mengambil hak dua orang tua itu. Ini tentang keadilan, fikirku. Motor sudah dekat dengan dua orang tua yang sedang membawa ayam dan sebundel padi. Kemudian merampas paksa. Tapi kali ini, si pemegang ayam berusaha untuk membela haknya, dan aku semakin yakin untuk membantunya. Lekas berlari menuju mereka yang sudah ribut, dengan pisau yang kuangkat tinggi-tinggi sembari berteriak “hentikan” dengan suara paling keras.
“Tolong tolong tolong, aku mau di rampok!” Teriak seorang tua yang berusaha membela haknya.
Aku sudah dekat, tapi ada yang menghantam kepalaku keras, ada yang mengalir dingin. Semua orang berlarian menuju kearahku dan memukul, menendang, menyeretku dengan pengendara motot kurus itu.
“Aku memang sudah curiga sama orang ini!” suara lelaki tua masih bisa kudengar dengan jelas.
Mataku mulai rabun, dan perlahan aku mengingat ucapan orang tua tadi malam, bahwa kematian punya cara sendiri untuk datang. Semua terasa semakin gelap, hantaman benda keras suadah tak kurasa seperti apa sakitnya. Semua sudah gelap.
Comments
0 Comments