Cerpen Maltuf A. Gungsuma
(Cerpen ini telah dimuat di Suara Merdeka, 25 Januari 2015)
Lihat perempuan itu, bukan emas atau berlian di lehernya, tapi ular. Ia
memang cantik, semua pemuda disini tahu itu dan berdecak kagum setiap melihatnyamelintas
di jalanan desa. Tapi kau mesti tahu kalau ular di lehernya itu berbisa. Dan yang
sangat mengerikan lagi, ular itu hanya patuh pada majikannya.
“Meisa, ada banyak lelaki ingin mengalungkan berlian di lehermu, tapi
selalu terhalang sama ular itu.”
Ya, perempuan itu bernama Meisa. Ibunya selalu menasihatinya begitu.
“Biarkanlah Ibu, suatu saat pasti akan ada lelaki yang bisa menjinakkan
Dirga,” tukas Meisa meyakinkan. Dirga merupakan nama ular itu. Dirga bergelayut
di dada Meisa, mendesis dan merayap ke sebelah kiri lehernya. Meisa mengerti
kalau Dirga tidak terima kalau harus berpisah dengan dirinya. Lantas Meisa
mengelus lembut kepala Dirga, sementara Dirga menjulur-julurkan lidahnya pada
daun telinga Meisa. “Bukankah Ibu sering mengatakan kalau jodoh tidak akan
kemana? Dan siapa tau, kalaumisalnya Dirga yangjadi jodohku.”
“Hus, itu ular Nak, kualat kamu!”
*****
“Skak-mat!”Ster sudah berada di
garis lurus dimana rajalawan berada,
dan benteng berada lurus di
sebelahnya. Marwi memenangkan perlawanan Kardi yang berusaha keluar dari
tekanan sejak paroh pertandingan. “Ah, belum ada yang bisa menandingiku,” seloroh
Marwi.
“Kalau sama perempuan itu, Wi?”
Marwi menoleh ke arah perempuan yang dimaksud Kardi. Tampak Meisa lewat
di samping gardu ronda dengan menenteng kotak kayunya. Perempuan itu tampak
lusuh dengan Dirga yang setia melingkar di lehernya. Sore hari menjelang
petang, begitulah kira-kira yang selalu ditandai Marwi dan Kardi, Meisa akan
selalu lewat di jalan itu, pulang dari pasar Ganding.
“Hah, perempuan yang sulit aku taklukkan dengan berbagai langkah
mematikan sekalipun!”
“Hahaha, bahasamu berlebihan, padahal belum ada usaha apa-apa!”
Lantas dua pemuda itu tertawa.
“Aku dengar-dengar, hari Senin besok Meisa buat sayembara di pasar?”
“Sayembara apa?” Kardi balik bertanya, mengernyitkan dahi.
“Katanya, siapapun yang bisa menaklukkan Dirga, kalau laki-laki, berhak
mengalungkan kalung di leher Meisa sebagai petanda kalau Meisa bersedia menjadi
istrinya. Sedangkan kalau perempuan, Meisa akan memberikan hadiah kalung emas berlian
miliknya.”
“Hahaha, jangan-jangan kalung itu pemberian Badi!”
“Memang begitu, kalung itu tidak sanggup meluluhkan hati Meisa untuk
melepaskan Dirga dari lehernya. Tapi Badi tidak memintanya kembali, dia meminta
Meisa menyimpannya walaupun tidak bersedia memakainya.”
“Berarti kamu akan dapat saingan berat besok.”
“Iya benar kamu Kar, Badi memang lihai menaklukkan ular-ular berbisa,
aku yakin dia bisa memenangkan sayembara ini. Tapi semua hal bisa terjadi, apa
lagi selama ini Badi belum bisa menaklukkan Dirga.”
*****
Mentari kian meninggi, pagi ditinggal embun pergi. Bau amis ikan,
daging-daging, dan keringat manusia bercampur aduk. Lalu lalang manusia
berseleweran di jalan-jalan sempit pasar Ganding. Berdesak-desakan. Mata liar
pencopet mengintai. Tangis histerispun pecah ketika sadar barang berharganya
raib, entah kemana. Ada yang peduli dengan menghiburnya, ada pula yang hanya
melihat iba dan berlalu.
Di sebuah sudut pasar, di samping lahan parkir kendaraan, sekerumunan
manusia berdiri menyaksikan sebuah pertunjukan. Ya, disanalah Meisa melakukan
sayembara yang tidak lebih hanya sensasi untuk mendapatkan penghasilan.
Siapapun yang ikut dan menonton sayembara itu harus membayar sejumlah uang yang
sudah ditentukannya. Di antara kerumunan itu sudah hadirBadi, Marwi dan Kardi
yang mengantri mendapatkan kesempatan mencoba peruntungan.
Tiba-tiba seorang lelaki terpelanting mengerang kesakitan. Tangan
kanannya yang bertato ular itu luka kecil, Dirga berhasil mematoknya. Lelaki
itu langsung dibawa pergi sama temannya.
“Meisa, tidak sadarkah kau telah melukai banyak orang demi kesenanganmu
sendiri? Hentikan kekonyolanmu ini!” teriak Badi yang sudah berdiri tepat di
depan Meisa.
“Kamu tidak terima aku buat sayembara kayak gini atau karena lamaranmu
aku tolak, hah?” tanya Meisa sinis. Mata Badi memerah,
diam. “Atau kamu mau mencoba menaklukkan Dirga? Katanya kamu itu pawang ular
terhebat di desa ini, iya kah?” tambahnya.
“Oke, aku terima tantanganmu, tapi pakai dulu kalung pemberianku itu.”
“Oh tidak, taklukkan dulu Dirga, baru kau yang kalungkan sendiri ke
leherku!”
“Baiklah!”
Badi maju berapa langkah mendekati Meisa. Ia tatap lekat-lekat mata
Dirga. Mata itu sangat tajam, mata yang berisyarat tidak mau tunduk sama
siapapun.
Badi mencoba menangkap kepala Dirga dengan kecepatan tangannya, tapi
Dirga dengan gesit menghindar dan menyerang balik. Hampir saja Dirga berhasil
mematok tangan kanan Badi kalau saja Badi kurang cepat menarik tangannya itu.
Ketika itulah, Badi punya kesempatan untuk menangkap kepala Dirga dengan tangan
kirinya. Hap, Badi berhasil menangkap kepala Dirga. Semua yang menyaksikan itu
tepuk tangan.
Tiba-tiba tanpa dinyana, ekor Dirga bergerak cepat dan mematok tangan
Badi. Sontak Badi terkejut dan melompat ke belakang. Terjatuh. Semua orang
terperangah menyaksikan itu, ternyata Dirga juga punya ekor tajam yang juga
berbisa. Meisa tersenyum sinis, “Badi, Badi!”
Marwi dengan sigap menolong Badi yang mengerang kesakitan. “Tidak
apa-apa, saya bisa tangani ini sendiri. Saya punya obatnya.”
Badi mengeluarkan sesuatu dari pinggangnya. Sebuah jimat berbentuk sabuk
ia kasihkan ke Marwi dan memakaikannya. Badi membisikkan sesuatu di telinga
Marwi. “Oke, semoga berhasil!” Badi menepuk pundak Marwi. Marwi mengangguk.
“Meisa, aku ikut!”
“Oke, silahkan mendekat!”
Marwi mendekat dan mencoba komunikasi sama Dirga. “Saya minta satu
syarat ke kamu, kalungkan kalung pemberian Badi di lehermu, sebagai bentuk
penghormatan padanya yang sanggup menangkap kepala Dirga.”
“Iya betul, kasian dia,” celetuk Kardi.
“Iya, hormati keberhasilannya!” celetuk yang lain.
Meisa mengernyitkan dahi kemudian mengangguk. “Oke, hanya sebatas
penghormatan atas keberhasilannya itu!”
Meisa mengeluarkan kalung itu dari kotak kayunya dan memakainya. Ia
tidak sadar kalau kalung itu mempunyai kekuatan sakti yang bisa menaklukkan
Dirga. Hanya saja Badi tidak pernah berhasil mengalungkannya di leher Meisa.
Benar saja, setelah kalung emas berlian itu melingkar di leher Meisa, tiba-tiba
Dirga perlahan melepas diri dari leher Meisa, bergelayut turun ke tanah dan
menghampiri Marwi. Marwi mundur berapa langkah sampai di samping Badi.
“Jangan takut, ia tunduk padamu, ambil saja!” seru Badi.
Dengan ragu-ragu Marwi mengambil ular itu dan memberanikan diri mengalungkan
ke lehernya. Meisa tidak percaya dengan kenyataan di depannya itu. Dengan
gampangnya ia masuk perangkap Marwi. Ia pun tidak bisa melepas lagi kalung yang
melingkar di lehernya itu. Kalung itu seakan menyatu dengan lehernya.
“Kalung itu hanya bisa dibuka oleh kamu,” ucap Badi pada Marwi.
“Kamu licik!” teriak Meisa pada Marwi.
“Ini sayembara, yang menang yang benar.”
“Oke, aku mengakui kamu menang dan aku bersedia menjadi istrimu!”
Semua tepuk tangan dan tersenyum lebar.
*****
Hiburan gamelan sudah usai, tamu-tamu undangan dan warga sekitar sudah
kembali ke rumahnya masing-masing. Malam kembali senyap. Udara dingin malam
menyusup di sela-sela jendela kamar pengantin itu. Ya, inilah malam pertama pernikahan
Marwi dan Meisa.
“Letakkan Dirga di meja itu, Marwi!” Meisa berbisik mesra di telinga
Marwi yang memeluknya. “Mari kita nikmati malam ini berdua!”
Marwi tersenyum dan menuruti kata istrinya itu. Dirga juga menuruti
perintah majikannya dengan melingkar di atas meja.
Marwi kembali memeluk mesra Meisa. Membelai rambut lurusnya. Menuntunnya
ke tempat tidur. Malam ini ia merasa Meisa lebih cantik dari sebelumnya. Meisa
yang harum tubuhnya.
“Apakah kau bahagia malam ini, Meisa?”
“Siapapun pasti sangat bahagia di malam pertama pernikahannya, Marwi,”
jawab Meisa dengan lembut. “Kau juga pasti begitu. Tapi ada satu hal yang
membuat kebahagiaan ini tidak sempurna,” lanjutnya menggantung.
“Apa itu, Meisa?”
“Kau belum memenuhi janjimu memberiku kalung emas berlian.”
“Ohya, aku lupa, aku sudah membelikannya untukmu, aku ambil dulu.”
Marwi beranjak dan bergegas menuju lemari baju. Di sela tumpukan baju-baju
diambilnya sebuah kotak kecil. Di dalamnya itu tersimpan sebuah kalung emas
berlian yang tidak kalah dengan pemberian Badi pada Meisa sebelumnya.
“Meisa, kalung ini sangat berharga bagiku, hanya kau yang pantas memakai
kalung ini.”
“Iya, kalung ini sangat indah. Aku suka, aku sayang kamu,” ucap Meisa
sambil mengecup tangan Marwi dan kalung itu. “Pakaikan segera di leherku,
Marwi!”
Marwi melepas kalung pemberian Badi dan meletakkannya di samping tempat
tidur. Kemudian Marwi mengalungkan kalung miliknya di leher Meisa. “Kau sangat
cantik dengan kalung ini, Meisa!”
Meisa tersenyum, Marwi mengecup keningnya. Tapi tiba-tiba Dirga sudah
melilit di leher Marwi.Meisa yang tidak lagi memakai kalung pemberian Badi
dengan diam-diam memerintahkan Dirga untuk membunuh Marwi. Meisa mendorong
tubuh Marwi dengan keras dan menjauh dari tempat tidur.
“Terkutuk kau, Meisa!” erang Marwi.
Marwi berontak, mencoba melepas lilitan Dirga di lehernya. Tapi Marwi
semakin tak berdaya ketika Dirga mematok lehernya. Kemudian bertubi-tubi Dirga
mematok dahi, mata, pipi, telinga, dan bagian lainnya. Sampai akhirnya Marwi
tidak sadarkan diri. Meisa tersenyum puas.
“Bagus Dirga!” ucap Meisa sambil mengambil ular itu, membelainya, dan
melilitkannya di leher.
Dirga bergelayut mesra dan menjilat-jilat pipi Meisa. Tapi entah kenapa,
lilitan Dirga semakin kencang dan keras di leher Meisa. Menyadari itu, Meisa
meronta dan berusaha melepas lilitan Dirga. Tapi usahanya sia-sia, Dirga
semakin membuat Meisa tidak bisa bernapas dan sampai benar-benar tidak bisa
bernapas lagi. Roboh.Meja dan kursi berantakan.
Dirga merayap di atas tubuh Meisa, melewati celah jendela dan pergi
meninggalkan kamar pengantin itu.
Entah bagaimana ceritanya, Dirga sangat senang melilit di leher
majikannya. Tentang siapa yang akan menjadi majikannya setelah Meisa dan Marwi,
tiada yang tahu. Tapi ia merayap ke arah timur.
Yogyakarta, Nopember 2014